TEORI PERILAKU AGRESIF
Teori tentang perilaku Agresif banyak dikemukakan oleh para ahli, ada yang mengatakan bahwa perilaku agresif merupakan sifat bawaan, sedangkan ahli yang lain memandang karena adanya lingkungan. Berbagai pandangan tersebut diuraikan berdasarkan minat pada bidang yang ditekuninya. Di bawah ini akan dijelaskan dalam beberapa teori tentang perilaku agresif, yaitu:
Perilaku Agresif sebagai Perilaku Bawaan
Freud (Barbara, 2005) dengan teorinya berpandangan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat kemanusiaan, yaitu perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup yang pada dasarnya pada diri manusia terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos).
Freud (Barbara, 2005) dengan teorinya berpandangan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat kemanusiaan, yaitu perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup yang pada dasarnya pada diri manusia terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos).
Insting kehidupan terdiri atas insting reproduksi atau insting seksual dan insting- insting yang ditujukan untuk pemeliharaan hidup, sedangkan insting kematian memiliki tujuan untuk menghancurkan hidup individu (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003).
Dalam teori ini perilaku agresif merupakan ekspresi dari adanya insting kematian. Insting inilah yang menjadi patokan untuk menjelaskan adanya beberapa bentuk tingkah laku agresif seperti peperangan ataupun bunuh diri. Freud (Baron dan Byrne, 2000) beranggapan bahwa insting mati yang dapat menjelaskan perilaku agresif mempunyai sifat katarsis atau pelepasan ketegangan yang dapat merugikan masyarakat.
Senada dengan pendapat di atas Ardrey (dalam Hudaniyah dan Dayakisni, 2003) mendasarkan pada teori evolusi Darwin dalam penelitiannya tentang perilaku agresif, berpendapat manusia sejak kelahirannya telah membawa killing imperativ dan dengan killing imperative ini manusia dihinggapi obsesi untuk menciptakan senjata dan menggunakan senjatanya itu untuk membunuh apabila perlu. Tetapi manusia memiliki mekanisme pengendalian kognitif yang mengimbangi “keharusan” membunuh salah satunya yaitu nurani yang memainkan peranan dalam menghambat agresi. Manusia telah diprogram (melalui evolusi) untuk mengancam, berkelahi, bahkan membunuh jika perlu untuk mempertahankan teritorialnya. Oleh karena itu terdapat keccenderungan manusia bersifat damai hanya terhadap orang lain dalam kelompoknya saja. Sebaliknya memusuhi orang di luar kelompoknya dan ingin menghancurkannya untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya.
Perilaku Agresif sebagai Perilaku Belajar
Menurut teori belajar, kondisi dan tingkah laku agresif terhadap individu lain bukan bersifat instingtif, tetapi diperoleh melalui belajar. Sears, dkk (1995) menyatakan mekanisme utama yang menentukan perilaku agresif manusia adalah proses balajar masa lampau. Bayi yang baru lahir menunjukkan perasaan agresif yang sangat impulsif. Bila keinginannya tidak terpenuhi dia akan menangis keras, memukul- mukul, menghantam apa saja yang dijangkau. Pada kehidupan bayi tidak menyadari kehadiran orang lain sehingga tidak akan dapat mengganggu mereka secara sengaja. Bila bayi ini menyadari kehadiran orang lain, dia akan terus menerus melepaskan amarahnya dan mungkin mengarahkan kepada mereka. Tetapi pada masa dewasa ia akan mengendalikan dorongan impuls agresifnya secara kuat dan hanya melakukan Agresi dalam keadaan tertentu.
Perkembangan ini disebabkan oleh proses belajar. Belajar melalui pengalaman coba-coba, pengajaran moral, instruksi khusus, pengalaman diri sendiri melalui pengamatan terhadap orang lain akan membantu mengajarkan cara merespon pada individu. Individu juga mempelajari bermacam- macam bentuk tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat melalui cara mempelajari akibat penampilan dari respon tersebut (Sears, dkk, 1995).
Salah seorang tokoh dalam teori belajar adalah Skinner, yang terkenal dengan teori operan conditioningnya. Menurut pendekatan pengkondisian operan ini bahwa perilaku apabila memberikan efek positif yang cenderung diulang dan sebaliknya jika memberikan efek negatif ditinggalkan (Sears, dkk, 1995).
Salah satu mekanisme utama untuk memunculkan proses belajar adalah penguatan (reinforcement). Bila suatu perilaku tertentu diberi ganjaran atau hadiah (reward), kemungkinan besar individu akan cenderung mengulangi suatu perilaku tersebut di masa mendatang, tetapi jika perilaku tersebut mandapatkan hukuman (punishment) maka kecil kemungkinan akan mengulangi perilaku tersebut. Tindakan agresif biasanya merupakan reaksi yang dipelajari dan penguatan atau hadiah meningkatkan kemungkinan hal tersebut akan diulang kembali (Sears, dkk, 1995).
Perilaku Agresif sebagai Perilaku Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar teori ini adalah sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003).
Motivasi individu untuk mengamati dan mengungkapkan atau mencontoh tingkah laku model akan kuat apabila model memiliki daya tarik dan memiliki efek yang menyenangkan atau mendatangkan penguatan (reinforcement). Sebaliknya, individu pengamat kurang termotivasi untuk mencontoh perilaku agresi itu tidak memiliki daya tarik dan dengan agresi yang dilakukannya si model tidak menyenangkan, efeknya negatif atau hukuman (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003).
Proses modeling menjelaskan bahwa anak mempunyai kecenderungan kuat untuk berimitasi (meniru), mudah berimitasi terhadap figur tertentu, misalnya tokoh yang terkenal, orang-orang sukses dan orang yang sangat akrab serta sering mereka temui. Figur yang paling mungkin menjadi model bagi anak adalah orangtuanya sendiri, oleh sebab itu perilaku agresif anak sangat tergantung pada cara orangtua atau orang dekat dalam memperlakukan mereka, karena perilaku orang disekitarnya dapat dipakai sebagai model yang ditirunya.
Menurut Bandura (dalam Berkowitz, 1995) dalam belajar obsevasional terdapat empat proses hubungan antara satu dengan yang lain saling berkaitan, yaitu:
1. Proses Atensi yaitu proses individu tertarik untuk memperhatikan dan mengamati tingkahlaku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik akan lebih mudah mengundang perhatian dibandingkan model yang jarang tampil dan tidak menarik.
2. Proses retensi yaitu proses seseorang pengamat dalam menyimpan tingkahlaku yang telah diamati di dalam ingatannya.
3. Proses reproduksi yaitu proses seseorang pengamat menangkap ulang tingkahlaku model yang disimpan.
4. Proses motivasional dan penguatan yaitu tingkahlaku yang telah diamati tidak akan dilakukan apabila pengamat kurang termotivasi. Bandura percaya bahwa penguatan positif dapat memotivasi individu untuk mengungkapkan tingkahlaku tertentu. Probabilitas peniruan perilaku agresi akan semakin tinggi dengan adanya penguatan. Motivasi pengamat untuk meniru tingkahlaku agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model memiliki daya tarik yang kuat dan agresi yang dilakukan oleh model memperoleh akibat yang menyenangkan (efek positif), sebaliknya pengamat tidak termotivasi meniru agresi yang dilakukan apabila memperoleh akibat yang tidak menyenangkan atau hukuman.
Perilaku Agresif sebagai Dorongan yang Berasal dari Luar
Pandangan tentang perilaku agresif tidak berhubungan dengan insting, namun ditentukan oleh kejadian-kejadian eksternal, di mana kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan yang kuat pada seseorang untuk memicu kemunculan perilaku agresif. Salah satu teori dari kelompok ini adalah teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron & Byrne, 2000). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi, dan agresi timbul karena adanya frustrasi Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku agresifpun akan meningkat. Kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh frustrasi, tergantung besarnya kepuasan yang 1) diharapkan dan 2) tidak dapat diperoleh.
Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan meningkatlah kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung:
1. Tingkat kepuasan yang diharapkan
2. Seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan
3. Seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan (Berkowitz, 1995).
Sears, dkk (1995) mengemukakan bahwa frustrasi adalah suatu gangguan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan, selanjutnya dikatakan bahwa salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresi.
Agresi selalu merupakan akibat dari frustasi dan frustasi selalu mengarah keberbagai bentuk agresi, berdasarkan teori ini dorongan untuk melakukan agresi meningkat bersamaan dengan meningkatnya frustrasi.
Dalam pandangan yang direvisi, agresi bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu respon terhadap frustrasi. Individu yang frustrasi mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Sejauh tindakan agresif mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat menguatkan diri: kemungkinan respon agresif akan timbul mengikuti frustrasi yang dialami sebelumnya akan meningkat (Barbara, 2005)
Perilaku Agresif sebagai Perilaku Katarsis
Tujuan perilaku agresif menurut teori ini adalah dalam rangka katarsis (pelepasan ketegangan) terhadap kompleks-kompleks terdesak dalam artian perasaan marah dapat dikurangi melalui pengungkapan agresi. Inti dari dari gagasan katarsis adalah bila seseorang merasa agresif, tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas perasaannya. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi kemungkinannya untuk bertindak agresif (Sears, 1995).
Samuel (dalam Hudaniyah dan Dayakisni, 2003) menambahkan bahwa ketegangan akan meningkat dan timbul berbagai respon dari dalam individu yaitu dengan:
1. Reinterpretasi, individu berusaha untuk menggunakan akal sehat atau pikirannya dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
2. Timbul rasa marah, dimana kemarahan tersebut dapat berbentuk; upresi, individu melakukan penekanan terhadap rasa marah yang dialami. Penekanan ini dilakukan mungkin karena norma-norma masyarakat setempat atau norma keluarganya yang tidak mengijinkan untuk mengekspresikan kemarahan secara terang-terangan sehingga dapat mengakibatkan psikosomatis. Sublimasi, suatu bentuk penyaluran perasaan tegang atau kemarahan yang dapat diterima oleh masyarakat. Penyaluran ini dapat terwujud aktivitas-aktivitas kesenian, olah raga ataupun aktivitas bisnis yang mengandung persaingan. Agresi, yaitu bentuk penyaluran yang dapat merugikan orang lain maupun diri sendiri, karena penyaluran ini bersifat mengganggu atau merusak.
Sebagai contoh yaitu ketika seorang tiba-tiba mengklakson kita ketika mobilnya berada dibelakang kita maka kita akan marah dan pada gilirannya mobil tersebut berada di depan mobil kita, kita mengklakson balik maka kita akan merasa lega dan amarah kita akan berkurang.